Disaat semua umat manusia memandang ujung selatan benua Afrika, insiden internasional Mavi Marmara seolah mulai terlupakan. Gegap gempita Piala Dunia mampu menyatukan seluruh bangsa di dunia dalam sportivitas sepakbola. Namun makna sportivitas tak akan bisa ditemui di kawasan timur tengah. Seolah-olah drakula yang haus darah, Israel terus melaksanakan tindakan-tindakan yang tidak manusiawi terhadap rakyat Palestina (terutama Gaza), rumah-rumah yang hancur lebur di Gaza belum memuaskan keinginan mereka untuk menindas rakyat Palestina. Blokade-blokade ekonomi pun dilakukan oleh pemerintahan Zionis untuk membantai secara perlahan rakyat Gaza. Bukan hanya rakyat Gaza yang menjadi korban, relawan kemanusiaan yang membawa bantuan ke Gaza pun turut menjadi korban kebiadaban terntara Zionis.
Entah kebetulan atau tidak, justru penyelenggaraan Piala Dunia telah membuat mata umat manusia untuk sejenak melupakan insiden Mavi Marmara dan memusatkan perhatiannya ke Afrika Selatan. Memang bukan salah FIFA karena Piala Dunia sejak 1930 selalu dilaksanakan 4 tahun sekali, namun juga bukan salah relawan yang berangkat ke Gaza pada bulan mei (menjelang piala dunia (juni)).
Meskipun FIFA pernah mengatakan bahwa politik tak dapat mempengaruhi sepakbola, namun secara realitas semangat politik masih ada dalam dunia persepakbolaan. Dalam laga Brazil vs Portugal, pemain-pemain Brazil akan memiliki semangat lebih untuk mengalahkan Portugal sebagai negara yang pernah menjajah Brazil. Dalam laga Argentina vs Inggris, Maradona tampil begitu bersemangat dan ngotot. Dan ia pernah berkata "kekalahan Argentina melawan Inggris dalam perang untuk memperebutkan pulau Malvinas membuat saya memiliki semangat balas dendam terhadap Inggris". Indonesia juga pernah kehilangan kesempatan besar masuk piala dunia 1958 di Swedia karena masalah politik dengan Israel. Bersama-sama negara arab lainnya, Indonesia memboikot pertandingan kualifikasi melawan Israel. Padahal saat itu Indonesia hanya butuh kemenangan melawan Israel untuk masuk menjadi peserta piala dunia (pada pertandingan kualifikasi pertama, Indonesia mengalahkan China 3-0).
Meskipun pada akhirnya insiden Mavi Marmara dan berbagai efek politik terhadap dunia tak bisa menghentikan jalannya piala dunia, paling tidak kita berharap umat manusia tidak akan melupakan penderitaan rakyat Gaza saat ini. Tokoh-tokoh politik dunia dan internasional harus aktif berupaya menghapuskan blokade Israel atas Gaza, dan para relawan tak putus asa untuk menembus blokade tentara Zionis.
Dan akhirnya, peran pers adalah yang paling vital membuka mata dunia atas krisis di Palestina. Apakah kita harus menunggu sampai euforia piala dunia berakhir??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa komentarnya yaaa :D
komentar anda adalah apresiasi untuk para blogger.